Yang Kotor Bukan Politik, Tetapi "Politikus"nya

Minggu, 04 Maret 2012
Sudahsekian lama umat muslim ngidam kehadiran partai politik Islam dengan harapan para wakil rakyat yang terpilih nanti dapat diamanati aspirasi masyarakat Indonesia . Namun ironisnya, partai politik yang 'katanya' adalah berbasis Islam nyatanya tidak jauh beda dengan partai politik yang lainnya. Muncullah sebuah pertanyaan publik? Apa yang salah, politik atau politikus?

Menanggapi pertanyaan seperti ini tentu saya yakin semua orang sepakat bahwa politik itu tidaklah kotor, yang kotor orang-orang yang berpolitiknya. Sekalipun partai politik yang digagas oleh sejumlah politikus dari partai politik islam tetapi jika para politikus sendiri pemikiran dan pemahaman tentang islam saja masih salah kaprah, beginilah hasilnya. Banyak para politikus yang bukan menyejahterakan rakyat tetapi menyengsarakan rakyat. Politik menjadi alat untuk mendapatkan kekayaan dan kekuasaan hingga akhirnya uang yang mereka kumpulkan digunakan untuk mendapat suara terbanayak di pemilihan selanjutnya.

Sistem demokrasi yang ditanamkan oleh Indonesia ini membuahkan berbagai kontroversial. Sekalipun sistem ini adopsi dari negara Barat tetapi negara Barat sendiri yang malah merauk kekayaan Indonesia dan para wakil rakyat (pejabat) yang mendapatkan kepingan-kepingan recehan koin dari lembaran rupiah yang mereka (pihak asing) kantongi setiap detiknya sedangkan rakyat hanya gigit jari.

Perlu Pembinaan Ahlak
Jika kita mengambil pelajaran di masa lampau, kita seharusnya meneladani sistem pemerintahan yang telah sukses yakni yang telah dicontohkan oleh seorang pemimpin paling berpengaruh di dunia, Nabi Muhammad SAW (sumber: Book "The 100" oleh Michael H. Hart dan http://www.invir.com/seratusmanusia.html). Nabi Muahmamad SAW membawa masyarakat Madinah menajdi masyarakat yang madani hanya 23 tahun namun setelah kepergian-Nya masyarakat muslim semakin tersebar luas, bukti kejayaan umat Islam pada zaman itu. Sedangkan Indonesia sudah 65 tahun merdeka, namun kondisinya masih jauh dari kemerdekaan yang hakiki.

Di dalam kepemimpinan Nabi Muhammad SAW sebagai kepala negara di Madinah, metode yang digunakan dalam penyejahteraan rakyatnya adalah dengan pembinaan ahlak bukan pembinaan awak. Nabi Muhammad SAW membina rohani bukan jasmani. Nabi Muhammad SAW membina jiwa bukan membina raga. Sebaliknya, para pejabat kita malah membina awak, membina jasmani dan membina raga. Bukan ahlak, bukan rohani, bukan jiwa. Faktanya, yang dibangun adalah jalan atau pasar tetapi orang yang mengerjakannya tidak dibina hatinya. Akhirnya, banyak korupsi disana sini, suap menyuap merajalela.

Menajdi seorang pemimpin atau menteri tidak cukup dengan kecerdasan intelektual, tetapi membutuhkan kecerdasan emosional dan spiritual. Jika para pejabat sekarang mampu membuat anggaran pembangunan yang spektakuler dengan kecerdasan intelektualnya, maka mereka perlu kecerdasan emosional dan spiritual untuk pelekasanaan di lapangan sehingga tidak ada yang namanya korupsi, suap menyuap, dan sebagainya.

Oleh karenanya, jika politik ingin bersih maka sucikanlah dengan ahlak para politikusnya. Ahlak yang paling mulia adalah uswatun hasanah Nabi Muhammad SAW. Beliau adalah teladannya. Jika tidak meneladani sosok nomor satu di dunia sepanjang sejarah, lantas para pejabat kita akan mencontoh siapa?
Salam

Saepul gen's

0 komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar dan terimakasih..
Yuk Silaturahmi dengan tukeran link atau follow di Blogger Community
TUNGGU KEDATANGAN KAMI DI BLOG MU
Salam

Saepul Gen's